Liputan6.com, London - Pada 1928, berawal dari ketidaksengajaan, Alexander Fleming menghasilkan temuan terbesar dalam dunia medis: antibiotik (penicillin). Pembunuh bakteri itu selama ini telah menyelamatkan miliaran nyawa manusia dengan cara menyembuhkan infeksi yang bisa menyebabkan kematian.
Namun, penggunaan antibiotik yang tak semestinya justru membuat bakteri menjadi resisten, menjadi Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Konsekuensi dari resistensi ini bisa jadi bencana besar bagi umat manusia.
Dan kini, temuan baru kembali dihasilkan.
Suatu ketika, dalam sebuah diskusi mengenai infeksi penyakit yang digelar para akademisi University of Nottingham, Inggris, seorang ahli Anglo-Saxon dari universitas yang sama, Dr Christina Lee membawa sebuah resep yang ditemukan di sebuah naskah kuno.
Obat mujarab dari Abad ke-9 itu ditemukan di Bald's Leechbook yang disimpan di British Library. Manuskrip kuno Inggris tersebut berisi instruksi terkait sejumlah perawatan pada penyakit, termasuk infeksi.
Namun, penggunaan antibiotik yang tak semestinya justru membuat bakteri menjadi resisten, menjadi Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Konsekuensi dari resistensi ini bisa jadi bencana besar bagi umat manusia.
Dan kini, temuan baru kembali dihasilkan.
Suatu ketika, dalam sebuah diskusi mengenai infeksi penyakit yang digelar para akademisi University of Nottingham, Inggris, seorang ahli Anglo-Saxon dari universitas yang sama, Dr Christina Lee membawa sebuah resep yang ditemukan di sebuah naskah kuno.
Obat mujarab dari Abad ke-9 itu ditemukan di Bald's Leechbook yang disimpan di British Library. Manuskrip kuno Inggris tersebut berisi instruksi terkait sejumlah perawatan pada penyakit, termasuk infeksi.
Menurut BBC, naskah tersebut adalah contoh awal dari praktik kedokteran seperti yang dilakukan pada era modern -- dengan penekanan kuat pada observasi dan eksperimen.
Setelah menerjemahkan ramuan yang ditujukan untuk mengobati styes atau infeksi bulu mata yang biasanya disebabkan bakteri Staphylococcus aureus, para ilmuwan memutuskan untuk membuat kembali resep itu dan mengujinya pada infeksi di era modern.
Resep tersebut dibuat dari bawang merah atau atau daun bawang (leek), anggur (wine), bawang putih, dan cairan empedu yang diambil dari perut sapi. Ramuan tersebut biasanya digunakan untuk mengobati infeksi mata di era Dark Ages atau Zaman Kegelapan -- periode waktu antara runtuhnya Kekaisaran Romawi dan Renaisans.
Para ilmuwan lantas menguji keampuhannya pada tikus yang terinfeksi. Hasilnya? Menakjubkan!
Ramuan tersebut diyakini memegang kunci untuk menyembuhkan infeksi MRSA -- bakteri yang resisten terhadap berbagai antibiotik dan dapat menyebabkan infeksi aliran darah yang mengancam jiwa, pneumonia, dan infeksi di luka operasi.
Ramuan tersebut diyakini memegang kunci untuk menyembuhkan infeksi MRSA -- bakteri yang resisten terhadap berbagai antibiotik dan dapat menyebabkan infeksi aliran darah yang mengancam jiwa, pneumonia, dan infeksi di luka operasi.
Ramuan kuno tersebut membunuh 90 persen bakteri MRSA, lebih efektif ketimbang obat modern.
"Saya masih tak habis pikir, kok bisa antibiotik berusia 1.000 tahun masih ampuh. Saat mendapatkan hasil uji pertama, kami bengong. Tak mengira itu bakal terjadi," kata Dr Freya Harrison, ahli mikrobiologi dari University of Nottingham kepada The Independent, seperti dikutip dari News.com.au, Selasa (30/3/2014).
Temuan tersebut akan dipresentasikan dalam konferensi tahunan Society for General Microbiology di Birmingham, Inggris.
Sementara itu, ahli mikrobiologi dari Texas Tech University, Dr Kendra Rumbaugh mengaku, awalnya ia skeptis tentang ramuan itu.
"Bagaimanapun, solusi 'kuno' itu melakukan hal yang lebih baik daripada 'standar emas' saat ini (vancomycin) dan membunuh 90 persen MRSA pada luka," kata dia. Vancomycin adalah antibiotik yang melawan bakteri rentan dalam tubuh yang menyebabkan infeksi serius. (Ein/Tnt)
0 komentar:
Posting Komentar