Mengungkap Peran Penting Ilmuwan Islam Bagi Kemajuan Sains Modern


Selama ini sejarah perkembangan sains dan ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah formal pada umumnya didominasi oleh nama-nama para penemu dan ilmuwan Barat. Padahal faktanya orang-orang Islamlah yang pertama kali menemukan dan mengembangkan beragam pengetahuan itu. Ratusan tahun silam, sebelum ilmuwan Barat mengenal ilmu pengetahuan dan sains, ilmuwan muslim telah maju dan berkembang dengan serangkaian penemuan yang merupakan cikal bakal dari sains modern sekarang. Tetapi, sejarah Barat kemudian mengubur mereka “hidup-hidup”, sehingga hanya sedikit ilmuwan muslim yang masuk ke dalam tinta sejarah penemuan di dunia.
Sebenarnya, para ilmuwan Barat yang mengklaim dirinya sebagai penemu dan peletak ilmu pengetahuan itu tak ubahnya sebagai penerima tongkat estafet. Sains modern yang dianggap sebagai mahkota peradaban Barat modern, meraih tempatnya setelah beberepa kali pengoperan tongkat estafet tersebut. Dan tongkat estafet yang sampai di tangan para ilmuwan Barat tersebut sebenarnya berasal dari para ilmuwan non-Barat, termasuk dari para ilmuwan muslim yang hidup dalam rentang 800 tahun, yakni mulai abad ke-8 sampai abad 16.
Bahwa hanya sedikit yang mengetahui tentang fakta-fakta sejarah ini, oleh Michael Hamilton Morgan dari New Foundation of Peace disebut sebagai “sejarah yang hilang”. Sejarawan Jack Goody menyebutnya sebagai “pencurian sejarah”. Akibatnya, tidak hanya di Barat, di dunia Islam sendiri pun, peran besar para ilmuwan-ilmuwan muslim itu seakan terlupakan atau terabaikan.
Ehsan Masood dalam bukunya Science and Islam mengatakan bahwa dalam pendidikan sains di Inggris –sampai baru-baru ini- sejarah kemunculan sains cenderung meloncat dari zaman klasik Euklides, Aristoteles, dan Arkhimedes langsung ke kelahiran Zaman Sain abad ke-16 dan 17 di Eropa beserta pengakuan kecil, kalaupun ada, terhadap sains Islam yang hebat di antara kedua zaman itu. Padahal dalam perjalanan sejarahnya, peradaban Barat pernah mengalami masa-masa pahit yang mereka sebut dengan zaman kegelapan atau disebut juga zaman pertengahan (the Medieval Ages).
Menurut catatan sejarah, zaman kegelapan itu dimulai dari runtuhnya imperium Romawi Barat. Pada tahun 410 M, Alaric, raja Jerman dari suku Visigoth, menyerbu Roma dan menghancurkannya dalam amukan yang hanya berlangsung tiga hari saja. Lalu 66 tahun kemudian, kaisar Romawi Barat terakhir, Romulus Augustus, berhasil digulingkan, dan pusat kekaisaran secara sepihak dipindahkan ke Konstatinopel. Bersama dengan itu cahaya kehidupan menghilang. Eropa memasuki zaman kegelapan. Zaman tanpa ilmu, tanpa sastra, bahkan tanpa peradaban itu berlangsung ratusan tahun. Baru 1.000 tahun kemudian “matahari” kembali menyinari dataran Eropa yang terkenal dengan masa Rainaissance.
Sementara Eropa tenggelam dalam zaman kegelapan karena dibelenggunya otak para cendekiawan oleh doktrin gereja, dibelahan lain, di dunia Timur, umat Islam sedang merajut kegemilangan demi kegemilangan dalam kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Sinar kegemilangan inilah yang dikemudian hari menciptakan “matahari” bagi lahirnya masa Rainaissance tersebut. Ironisnya, bukannya dunia Barat merasa berhutang budi, malah mereka seperti menghapus jejak jasa para ilmuwan Islam tersebut. Tentang ini, Princes of Wales (Pangeran Charles) dalam pidatonya di Oxford University mengkritik tajam, “Bila ada banyak kesalahpahaman di dunia Barat tentang hakekat Islam, maka banyak juga ketidaktahuan tentang utang kebudayaan dan peradaban kita kepada dunia Islam. Saya rasa ini adalah kegagalan yang berakar dari ditutupinya sejrah yang kita warisi selama ini.”
Menurut Mehdi Nakosteen yang dikutip oleh M. Yusuf Abdurrahman dalam bukunya Cara Belajar Ilmuwan-Ilmuwan Muslim Pencetus Sains-Sains Canggih Modern, di antara beberapa kontribusi ilmuwan-ilmuwan muslim bagi dunia Barat, bahkan sains modern, terdapat dalam ragam bidang, antara lain bidang astronomi, matematika, fisika, kimia, ilmu hayat, kedokteran, sosiologi, filsafat, sastra, arsitektur dan seni rupa, dan musik.
Dalam bidang fisika misalnya ada nama Ibnu al-Nafis. Pada abad ke-13 fisikawan asal Kairo itu telah menemukan sirkulasi paru-paru, peredaran darah melalui paru-paru. Enam abad sebelum Leonardo mampu menciptakan dan terbang dengan ornitopternya, insinyur Andalusia Abbas bin Firnas telah menemukan teori penerbangan dan diyakini telah melakukan percobaan penerbangan yang sukses. Sedang di Irak, Jabir bin Hayyan adalah peletak dasar-dasar ilmu kimia sekitar 900 tahun sebelum Boyle.
Bahkan, tulis Ehsan Masood lagi, para peneliti sekarang menunjukkan bahwa para pelopor hebat dalam sains modern meneruskan hasil kerja para ilmuwan zaman Islam. George Saliba dari Colombia University, misalnya menunjukkan dalam bukunya Islamic Science and the Making of the Europe an Reinaissance bagaimana ahli astronomi Polandia Nicolaus Copernicus menggunakan hasil karya ahli astronomi Islam sebagai dasar penemuan barunya pada tahun 1514 bahwa bumi mengelilingi bumi. Ahli sejarah matematika pun mengakui bahwa aljabar telah dikembangkan di Bagdad pada abad ke-9 oleh Musa al-Khawarizmi.
Tentu masih ada nama-nama ilmuwan besar lainnya, sebut saja Ibnu Ismail al-Jazari yang telah mampu menciptakan robot manusia (humanoid) yang bisa diprogram, jauh sebelum Leonardo da Vinci dari Italia sanggup merancang robotnya pada tahun 1478 M, yang realitanya selama ini ia diklaim sebagai perintis robot pertama. Dalam bidang filsafat ada Ibnu Rusyd (1126-1198) yang dihormati Barat dengan nama Averroes. Dalam bidang sosial, politik dan budaya ada ibnu Khaldun (lahir 27 mei 1332) dan dalam bidang navigasi ada ibnu Battutah (1304-1377) yang menjelajah dunia dari Rusia hingga Samudra Pasai, dan Ibnu Majid yang menemukan kompas modern.
Dampak Penyelewangan Sejarah
Dengan adanya fakta sejarah yang hilang tentu memberi dampak negatif dan menumbuhkan pandangan-pandangan keliru pada dunia Islam yang sebenarnya memiliki kontribusi penting bagi pengetahuan, kebudayaan, khususnya sains modern. Menurut Ehsan Masood ada dua dampak buruk yang berkembang. Pertama adalah pemikiran bahwa para cendekiawan Islam bertindak sebatas penjaga belaka atas karya klasik besar sains, dan hanya sedikit menambahkan kemajuan pengetahuan manusia. Pandangan itu telah memunculkan pendapat bahwa sains abad pertengahan Islam tidak lebih dari “Proyek Penterjemahan” dari karya-karya Yunani kuno. Kedua, berdampak ketidakpositifnya hubungan antara Barat dan Islam, dan sedikitnya pertukaran pemikiran, kecuali penukaran buku-buku klasik Yunani sebelum masa Reinaissance. Bahwa tidak diragukan lagi terjadinya perang salib dan kesalahpahaman antara Barat dan Islam hari ini mendukung kesan bahwa hubungan saling menguntungkan antara Islam dan Barat pada zaman itu sangat kecil.
Pemicu Kemajuan Dan Kemunduran Sain Islam
Pemicu utama dari perkembangan sains di dunia Islam pada abad pertengahan itu adalah gairah dan semangat luar biasa untuk menimba dan menggali pengetahuan. Mereka menggabungkan penggalian akan isi kandungan al-Quran dengan teks-teks ilmuwan yang lebih dulu, yaitu dari Yunani kuno. Islam sendiri memang sangat membebaskan dan menghormati otoritas otak dan pemikiran selama masih dalam koridor syar’i. Dan semangat luar biasa itu didukung sepenuhnya oleh kebijakan penguasa saat itu. Ehsan Masood berpendapat bahwa menyerap kebudayaan lain lalu memodifikasinya dan membuat inovasi dengan berbagai ide baru adalah ciri sains Islam. Jadi, kedudukan sains Islam adalah penghubung antara masa lalu dan masa depan
Namun masa kegemilangan pengetahuan kini sepertinya sudah bergeser, tidak lagi di tangan Islam. Mesti itu tidak semuanya buruk. Masih ada bidang sains dan teknologi yang berkembang di negera Islam dengan baik, seperti di Iran dengan program genetika manusia, Malaysia dengan teknologinya, Pakistan dalam bidang kimia dan obat herbal, dan Turki dengan universitas berskala dunia yang tak kalah kualitas dengan universitas di Eropa.
Bila sekarang dunia Islam ingin kembali memegang kendali atau menjadi sumber sains dunia, Ehsan Masood mencatat ada tiga hal yang harus dilakukan. Harus ada investasi besar-besaran untuk mendidik masyarakat dan membangun berbagai lembaganya. Kedua, pemerintahnya harus memberi kebebasan para rakyatnya untuk bertanya dan melakukan inovasi. Dan ketiga, sains tak boleh digunakan untuk menyerang hak seseorang untuk beragama.
Membaca kisah kehebatan dan kebesaran mereka kita sebagai pewaris bangga sekaligus juga malu. Bangga, karena pendahulu kita adalah orang-orang besar yang mampu membuat pondasi bagi kemajuan sain modern. Malu, karena kita sekarang hanya mampu mewarisi legenda tanpa mampu “menepuk dada”, tanpa mampu menunjukkan karya-karya yang lebih gemilang layaknya pewaris para ilmuwan besar tersebut. Bila mereka akhirnya “dicuri” dunia Barat, murni kesalahan kita yang tak mampu meneruskan jejak mereka.
Dan, kita hanya bisa berharap apa yang dikatakan Ehsan Masood tentang tiga hal untuk bisa mengembalikan sains ke tangan Islam di atas bisa menjadi bahan renungan yang nantinya akan dilaksanakan oleh para pemangku jabatan di negara-negara Islam, khususnya oleh pemerintah Indonesia.***




Share on Google Plus

About Bhaswara Ananta

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar