Sebenarnya,
para ilmuwan Barat yang mengklaim dirinya sebagai penemu dan peletak
ilmu pengetahuan itu tak ubahnya sebagai penerima tongkat estafet. Sains
modern yang dianggap sebagai mahkota peradaban Barat modern, meraih
tempatnya setelah beberepa kali pengoperan tongkat estafet tersebut. Dan
tongkat estafet yang sampai di tangan para ilmuwan Barat tersebut
sebenarnya berasal dari para ilmuwan non-Barat, termasuk dari para
ilmuwan muslim yang hidup dalam rentang 800 tahun, yakni mulai abad ke-8
sampai abad 16.
Bahwa hanya sedikit yang mengetahui tentang fakta-fakta sejarah ini, oleh Michael Hamilton Morgan dari New Foundation of Peace
disebut sebagai “sejarah yang hilang”. Sejarawan Jack Goody menyebutnya
sebagai “pencurian sejarah”. Akibatnya, tidak hanya di Barat, di dunia
Islam sendiri pun, peran besar para ilmuwan-ilmuwan muslim itu seakan
terlupakan atau terabaikan.
Ehsan
Masood dalam bukunya Science and Islam mengatakan bahwa dalam
pendidikan sains di Inggris –sampai baru-baru ini- sejarah kemunculan
sains cenderung meloncat dari zaman klasik Euklides, Aristoteles, dan
Arkhimedes langsung ke kelahiran Zaman Sain abad ke-16 dan 17 di Eropa
beserta pengakuan kecil, kalaupun ada, terhadap sains Islam yang hebat
di antara kedua zaman itu. Padahal dalam perjalanan sejarahnya,
peradaban Barat pernah mengalami masa-masa pahit yang mereka sebut
dengan zaman kegelapan atau disebut juga zaman pertengahan (the Medieval Ages).
Menurut
catatan sejarah, zaman kegelapan itu dimulai dari runtuhnya imperium
Romawi Barat. Pada tahun 410 M, Alaric, raja Jerman dari suku Visigoth,
menyerbu Roma dan menghancurkannya dalam amukan yang hanya berlangsung
tiga hari saja. Lalu 66 tahun kemudian, kaisar Romawi Barat terakhir,
Romulus Augustus, berhasil digulingkan, dan pusat kekaisaran secara
sepihak dipindahkan ke Konstatinopel. Bersama dengan itu cahaya
kehidupan menghilang. Eropa memasuki zaman kegelapan. Zaman tanpa ilmu,
tanpa sastra, bahkan tanpa peradaban itu berlangsung ratusan tahun. Baru
1.000 tahun kemudian “matahari” kembali menyinari dataran Eropa yang
terkenal dengan masa Rainaissance.
Sementara
Eropa tenggelam dalam zaman kegelapan karena dibelenggunya otak para
cendekiawan oleh doktrin gereja, dibelahan lain, di dunia Timur, umat
Islam sedang merajut kegemilangan demi kegemilangan dalam kebudayaan dan
ilmu pengetahuan. Sinar kegemilangan inilah yang dikemudian hari
menciptakan “matahari” bagi lahirnya masa Rainaissance tersebut.
Ironisnya, bukannya dunia Barat merasa berhutang budi, malah mereka
seperti menghapus jejak jasa para ilmuwan Islam tersebut. Tentang ini, Princes of Wales (Pangeran Charles) dalam pidatonya di Oxford University
mengkritik tajam, “Bila ada banyak kesalahpahaman di dunia Barat
tentang hakekat Islam, maka banyak juga ketidaktahuan tentang utang
kebudayaan dan peradaban kita kepada dunia Islam. Saya rasa ini adalah
kegagalan yang berakar dari ditutupinya sejrah yang kita warisi selama
ini.”
Menurut Mehdi Nakosteen yang dikutip oleh M. Yusuf Abdurrahman dalam bukunya Cara
Belajar Ilmuwan-Ilmuwan Muslim Pencetus Sains-Sains Canggih Modern, di
antara beberapa kontribusi ilmuwan-ilmuwan muslim bagi dunia Barat,
bahkan sains modern, terdapat dalam ragam bidang, antara lain bidang astronomi, matematika, fisika, kimia, ilmu hayat, kedokteran, sosiologi, filsafat, sastra, arsitektur dan seni rupa, dan musik.
Dalam
bidang fisika misalnya ada nama Ibnu al-Nafis. Pada abad ke-13
fisikawan asal Kairo itu telah menemukan sirkulasi paru-paru, peredaran
darah melalui paru-paru. Enam abad sebelum Leonardo mampu menciptakan
dan terbang dengan ornitopternya, insinyur Andalusia Abbas bin Firnas
telah menemukan teori penerbangan dan diyakini telah melakukan percobaan
penerbangan yang sukses. Sedang di Irak, Jabir bin Hayyan adalah
peletak dasar-dasar ilmu kimia sekitar 900 tahun sebelum Boyle.
Bahkan, tulis Ehsan
Masood lagi, para peneliti sekarang menunjukkan bahwa para pelopor
hebat dalam sains modern meneruskan hasil kerja para ilmuwan zaman
Islam. George Saliba dari Colombia University, misalnya menunjukkan
dalam bukunya Islamic Science and the Making of the Europe an Reinaissance
bagaimana ahli astronomi Polandia Nicolaus Copernicus menggunakan hasil
karya ahli astronomi Islam sebagai dasar penemuan barunya pada tahun
1514 bahwa bumi mengelilingi bumi. Ahli sejarah matematika pun mengakui bahwa aljabar telah dikembangkan di Bagdad pada abad ke-9 oleh Musa al-Khawarizmi.
Tentu masih ada nama-nama ilmuwan besar lainnya, sebut saja Ibnu
Ismail al-Jazari yang telah mampu menciptakan robot manusia (humanoid)
yang bisa diprogram, jauh sebelum Leonardo da Vinci dari Italia sanggup
merancang robotnya pada tahun 1478 M, yang realitanya selama ini ia
diklaim sebagai perintis robot pertama.
Dalam bidang filsafat ada Ibnu Rusyd (1126-1198) yang dihormati Barat
dengan nama Averroes. Dalam bidang sosial, politik dan budaya ada ibnu
Khaldun (lahir 27 mei 1332) dan dalam bidang navigasi ada ibnu Battutah
(1304-1377) yang menjelajah dunia dari Rusia hingga Samudra Pasai, dan
Ibnu Majid yang menemukan kompas modern.
Dampak Penyelewangan Sejarah
Dengan
adanya fakta sejarah yang hilang tentu memberi dampak negatif dan
menumbuhkan pandangan-pandangan keliru pada dunia Islam yang sebenarnya
memiliki kontribusi penting bagi pengetahuan, kebudayaan, khususnya
sains modern. Menurut Ehsan Masood ada dua dampak buruk yang berkembang. Pertama
adalah pemikiran bahwa para cendekiawan Islam bertindak sebatas penjaga
belaka atas karya klasik besar sains, dan hanya sedikit menambahkan
kemajuan pengetahuan manusia. Pandangan itu telah memunculkan pendapat
bahwa sains abad pertengahan Islam tidak lebih dari “Proyek
Penterjemahan” dari karya-karya Yunani kuno. Kedua, berdampak
ketidakpositifnya hubungan antara Barat dan Islam, dan sedikitnya
pertukaran pemikiran, kecuali penukaran buku-buku klasik Yunani sebelum
masa Reinaissance. Bahwa tidak diragukan lagi terjadinya perang
salib dan kesalahpahaman antara Barat dan Islam hari ini mendukung
kesan bahwa hubungan saling menguntungkan antara Islam dan Barat pada
zaman itu sangat kecil.
Pemicu Kemajuan Dan Kemunduran Sain Islam
Pemicu
utama dari perkembangan sains di dunia Islam pada abad pertengahan itu
adalah gairah dan semangat luar biasa untuk menimba dan menggali
pengetahuan. Mereka menggabungkan penggalian akan isi kandungan al-Quran
dengan teks-teks ilmuwan yang lebih dulu, yaitu dari Yunani kuno. Islam
sendiri memang sangat membebaskan dan menghormati otoritas otak dan
pemikiran selama masih dalam koridor syar’i. Dan semangat luar biasa itu
didukung sepenuhnya oleh kebijakan penguasa saat itu. Ehsan Masood
berpendapat bahwa menyerap kebudayaan lain lalu memodifikasinya dan
membuat inovasi dengan berbagai ide baru adalah ciri sains Islam. Jadi,
kedudukan sains Islam adalah penghubung antara masa lalu dan masa depan
Namun
masa kegemilangan pengetahuan kini sepertinya sudah bergeser, tidak
lagi di tangan Islam. Mesti itu tidak semuanya buruk. Masih ada bidang
sains dan teknologi yang berkembang di
negera Islam dengan baik, seperti di Iran dengan program genetika
manusia, Malaysia dengan teknologinya, Pakistan dalam bidang kimia dan
obat herbal, dan Turki dengan universitas berskala dunia yang tak kalah
kualitas dengan universitas di Eropa.
Bila sekarang dunia Islam ingin kembali memegang kendali atau menjadi sumber sains dunia, Ehsan Masood mencatat ada
tiga hal yang harus dilakukan. Harus ada investasi besar-besaran untuk
mendidik masyarakat dan membangun berbagai lembaganya. Kedua,
pemerintahnya harus memberi kebebasan para rakyatnya untuk bertanya dan
melakukan inovasi. Dan ketiga, sains tak boleh digunakan untuk menyerang
hak seseorang untuk beragama.
Membaca
kisah kehebatan dan kebesaran mereka kita sebagai pewaris bangga
sekaligus juga malu. Bangga, karena pendahulu kita adalah orang-orang
besar yang mampu membuat pondasi bagi kemajuan sain modern. Malu, karena
kita sekarang hanya mampu mewarisi legenda tanpa mampu “menepuk dada”,
tanpa mampu menunjukkan karya-karya yang lebih gemilang layaknya pewaris
para ilmuwan besar tersebut. Bila mereka akhirnya “dicuri” dunia Barat,
murni kesalahan kita yang tak mampu meneruskan jejak mereka.
Dan, kita hanya bisa berharap apa yang dikatakan Ehsan
Masood tentang tiga hal untuk bisa mengembalikan sains ke tangan Islam
di atas bisa menjadi bahan renungan yang nantinya akan dilaksanakan oleh
para pemangku jabatan di negara-negara Islam, khususnya oleh pemerintah
Indonesia.***
0 komentar:
Posting Komentar