Rima kerap menyihir saya untuk berdecak kagum. Indah ketika mata ini melihat dan membacanya, renyah ketika suara saya berbalik terdengar di telinga ini. Rima itu pula seolah menggoda untuk merenungi tiap katanya, serupa ketika saya menjejerkan kata “Islam dan Kalam”. Islam, tumbuh besar ketika dilantunkan lewat kalam. Bukan lewat kekerasan yang kelam, yang justru membuatnya tenggelam. Itu kata yang terlintas setelah saya menamatkan buku karya anak bangsa yang menguak kebenaran, yang sayangnya kini ditenggelamkan dan dilupakan.
Eropa dalam pikiran generasi kini, positifnya tak jauh dari beragam ilmu pengetahuan (kalam) mulai dari sejarah, budaya, teknologi, hingga seni. Sedangkan negatifnya tak lain tingkah laku sebagian penduduknya yang lekat dengan gaya hidup hedonisme di tengah sekularisme dan ateisme. Kenapa saya mengkelompokkan pandangan hedone di antara sekularisme dan ateisme kedalam ranah yang negatif, setidaknya itu yang nantinya dapat menuntun kita pada keseimbangan lebih bijak antara pengetahuan dan agama.
Eropa modern menjadi benua dengan kebudayaan besar yang gemerlap di mata publik atau warga dunia. Dalam jahitan cerita Hanum Rais di “99 Cahaya di Langit Eropa” inilah membawa pemikiran mengenai kebesaran Eropa kini kembali pada fitrahnya yang hakiki. Flash back itu saya temukan pada barisan anak judul, yakni “perjalanan menapak jejak islam di Eropa”.
Mencoba mengkaitkan, antara “99 cahaya di langit Eropa” menjadi pembuka mengenai renaissance atau kebangkitan kebudayaan dan pengetahuan yang sempurna di Eropa dengan kata lain menapaki abad pencerahan. Lantas bagaimana kaitannya dengan jejak islam di Eropa. Kalimat itulah yang menyiratkan fakta, bahwa Islam memiliki andil cukup besar mengantarkan Eropa menuju kebangkitan dan pencerahan.
Pilar-pilar Islam bernafaskan kalam dan kebudayaan pernah tumbuh, berkembang dan besar di bumi Eropa. Sejalan pada prolog, Eropa dan Islam penah menjadi pasangan serasi. Islam pertama kali masuk ke Spanyol membawa kedamaian dan kemajuan perdaban. Benih-benih islam tumbuh menyinari tanah Spanyol hingga 750 tahun lebih. Menjadikan Cordoba sebagai ibu kota kekhalifahan Islam di Spanyol, sekaligus pusat peradaban pengetahuan dunia, serta the city of lights (kota cahaya) sesungguhnya yang membuat kota sekelas Paris dan London beriri hati. Cordoba masa kekhalifaan Islam pula menjadi kota yang mengajarkan keharmonisan antarumat beragama.
Hanum mencoba menjejaki kembali pilar-pilar Islam di bumi Eropa, perjalanan di tengah gemerlap Eropa bukan lagi perihal menara Eiffel, Tembok Berlin, Konser Mozart, Stadion Sepak bola San Siro, Colosseum Roma, atau gondola-gondola di Venezuela. Tetapi lebih kepada tempat ziarah yang mengenalkan dan mengingatkannya, saya, kita dan seluruh saudara muslim, tentang identitas islam.
Peradaban Islam lah yang menyelamatkan tradisi pengetahuan Eropa dari era Arestoteles, Plato, dan Socrates. Pada abad kegelapan atau pertengahan Eropa berusaha memutuskan tradisi pengetahuan tersebut. Sebagaimana mereka dipaksa hanya meyakini kebenaran agama mentah-mentah tanpa kebebasan untuk dipikirkan terlebih dahulu. Hingga muncul lah Averroes atau Ibnu Rush, tak lain ialah filsuf muslim bumi Andalusia, Cordoba, Spanyol, yang dimata orang Eropa sebagai Bapak Renaissance. Ia memperkenalkan pemahaman mengenai dua kebenaran yang tak terpisahkan antara agama dan ilmu pengetahuan atau sains, serta kewajiban manusia hidup di dunia untuk berfikir. Membuat banyak orang barat tidak hanya menyeganinya, tetapi mereka pun mendatanginya untuk berkonsultasi.
Ibnu Rush menjadi ilmuan muslim yang hingga kini namanya sangat di junjung tinggi oleh Eropa. “Ilmuan muslim” itu yang kerap tidak kita sadari. Jauh sebelum kemunculan ilmuan semacam Einsten yang kini di agung-agungkan kebanyakan warga dunia, ilmuan muslim lah yang mengalirkan banyak pengetahuan di bumi Eropa. Sebut saja Jabir bin Hayyan Bapak kimia modern dunia barat mengenalnya dengan nama Geber, Ibnu Sina Bapak Kedokteran yang dikenal dengan Avicenna, Al-Biruni seorang matematikawan muslim, Al-Khawarizmi guru aljabar Eropa, Ibnu Ismail Al-Jazari yang menemukan konsep Robotika Modern, Abu Al-Qasim Al-Zahrawi sang penemu Gips era Islam, Ibnu Haitham atau Al Hazen seorang ilmuwan optik, Al-Jahiz ahli biologi muslim, Ar-Razi atau Razhes ilmuwan muslim penemu cacar dan campak. Sederet ilmuan muslim yang generasi kini jarang ketahui.
Kalam yang menjadi cahaya Eropa abad pertengahan juga merambah kepada kebudayaan, meliputi berbagai kesenian islami entah bangunan atau benda-benda kecil peninggalan kerajaan Eropa. Hebatnya, kesemua itu tak hanya indah lewat penampakan fisiknya, tetapi pesan moral sebuah kalam lewat seni yang terkandung di dalamnya. Satu diantaranya yakni Perancis. Dunia mengetahui bahwa Perancis sebagai pusat seni yang menjunjung tinggi estetika dengan detail. Tergambar pada sederet bangunan karya Napoleon pahlawan besar Prancis, yang jika dihubungkan menghasilkan garis imajiner lurus dan jika telurusi kemana arahnya itu berujung, jawabanya adalah Mekkah atau Kiblat.
Fakta yang menguak kebenaran rumor secara logika, jika seorang Napoleon kebanggan Prancis ternyata berjiwa muslim. Kembali lagi, sayangnya dunia barat kini tidak objektif mengungkap fakta tersebut atau dengan kata lain tidak mau mengakuinya. Beranjak pada karya seni lain yang justru lebih mengungkapkan betapa tinggi nilai estetika seorang muslim, bahkan lebih detail daripada bangunan-bangunan simetris Eropa. Adalah seni kufic atau bentuk khat skrip bahasa Arab tertua yang terukir indah dan bermakna tidak hanya di dinding bangunan sejarah islam, tetapi juga di peralatan makan kerajaan, baju kebesaran Raja, hingga lukisan seorang hijab seorang Bunda Maria. Membuat para seniman kristen masa itu pun mengagumi hingga demam terhadap seni kufic, dan membuat seni pseudo kufic.
Rangkuman fakta kebesaran Islam dengan kalam ini yang patut kita jadikan sebuah refleksi. Mengingat peradaban islam kini mengalami kemunduran selama beberapa abad terakhir, serta pasang surut prasangka buruk tentang islam. Tak lain pengaruh retorika terikan jihad untuk memerangi negara-negara barat, sedangkan kalam yang dahulu menjadi cahaya Eropa mulai di kesampingkan.
Meminjam istilah Fatimah sosok yang menghantar Hanum menjejaki sejarah Islam di Eropa, mulai lah “menjadi agen muslim yang baik” dengan perantara kalam. Bukan seperti kebanyakan agen muslim gadungan yang membajak nama agama dengan teror dan penghasutan. Karena muslim sesungguhnya berdakwah melalui pengetahuan dan kedamaian, bukan melalui teror dan kekerasan
Sumber : http://www.tumblr.com/search/sains%20dan%20religion
0 komentar:
Posting Komentar