Sains, Agama dan Stephen Hawking

Baru-baru saja ada berita kalau Stephen Hawking, salah seorang fisikawan besar, mengatakan kalau fisika modern telah mencapai sebuah titik dimana kita tidak perlu lagi adanya Tuhan untuk memahami alam semesta sekitar kita.
Seperti kata Paijo, kalau kita tidak perlu lagi memakai radio panggil untuk komunikasi, bukan berarti radio panggil itu tidak ada. Tapi beberapa orang religius merasa hal itu berarti kalau itu berarti pernyataan kalau Tuhan tidak ada. Sedemikian hingga mereka memberikan komentar-komentar  memprotes.
FaktaIlmiah.com juga tergelitik untuk membahasnya. So inilah bahasan kami berdasarkan transkrip hasil debat yang bisa anda akses disini:
Stephen Hawking
Pertama yang harus diperhatikan disini adalah, siapa sih Tuhan? Tanpa jelas apa itu Tuhan, maka kita membicarakan sesuatu yang bisa saja berbeda. Sebagai contoh, Paijo mengatakan kalau kita ia tinggal di Bandung. Temannya, Poniran,  memprotes karena ia tidak tinggal di Bandung. Tapi jelas Paijo benar, karena yang dimaksud Bandung oleh Paijo adalah rumah kapal di sungai Kapuas, Kalimantan Barat. Di sana rumah kapal disebut Bandung. Poniran juga benar, karena apa yang ia maksud adalah kota Bandung, ibu kota Jawa Barat. Tapi keduanya bertengkar karena semata berbeda pengertian dari kata Bandung.
Begitu juga, Tuhan yang dibicarakan oleh Hawking berbeda dengan Tuhan yang dibicarakan oleh pemuka agama Islam, kristen, yahudi, dsb. Bagi Hawking, ia menyindir Tuhan yang dipakai sebagai penjealasan atas fenomena alam. Baginya Tuhan hanyalah sebuah alat penjelasan sementara. Anda tidak tahu petir, katakan itu amarah Tuhan. Anda tidak tahu tsunami, katakan itu cobaan Tuhan. Tuhan disini adalah pengisi kekosongan sementara. Apa yang disebut orang sebagai God of the Gap. Dan pernyataan Hawking adalah bahwa fisika sudah cukup maju sehingga Tuhan tidak muat lagi untuk diselipkan dalam bolongan-bolongan dalam kotak fenomena alam yang belum terjawab.
Di sisi lain, para pemuka agama, memiliki perbedaan konsep mengenai Tuhan. Agama kristen, jelas punya Tuhan yang berbeda dengan Agama Islam. Belum lagi Agama Yahudi dan agama lainnya yang memiliki Tuhannya sendiri-sendiri. Bagi mereka, Tuhan bukanlah alat, tapi tuhan adalah udara. Syarat utama untuk hidup, syarat untuk bernapas.
Bila anda belum mengerti perbedaan antara Tuhan yang dimaksud Hawking dengan Tuhan yang dimaksud para ulama, saya bisa menawarkan analogi disket dan Komputer. Tuhan bagi Hawking adalah disket. Buat apa disket lagi sekarang kalau kita sudah punya flash disk atau hard disk eksternal atau CD Writer yang kapasitasnya jauh lebih hebat. Lagian disket sering terjangkiti dengan virus. Sementara bagi ulama, Tuhan adalah komputer. Tanpa komputer, orang tidak akan terpikir menciptakan disket, flash disk atau hardisk eksternal.
Tapi ada kesamaan antara disket dan komputer. Keduanya sama-sama alat elektronik. Sama halnya dengan Tuhannya Hawking dan Tuhannya orang beragama, sama-sama dipandang sebagai pencipta Alam Semesta.
Richard Dawkins
Sekarang, bayangkan di atmosfer kita ada sebuah debu berwarna merah. Ada tak terhitung debu di atmosfer kita. Sekarang bila kita tidak menemukan debu demikian, apakah itu berarti debu tersebut tidak ada? Bisa saja kita kurang teliti mencarinya, bisa saja kita hanya memakai sampel, bukannya populasi, untuk membuat kesimpulan tersebut.  Tapi bila memang seseorang entah bagaimana berhasil menyapu bersih semua debu di atmosfer dan mengumpulkannya, melihatnya satu-satu dan tidak menemukan debu berwarna merah. Ini adalah bukti nyata kalau debu tersebut tidak ada.
Ini kembali ke pernyataan di awal paragraf : Bayangkan ada debu berwarna merah di atmosfer. Ini kontradiktif dengan kalimat terakhir yang mengatakan debu tersebut tidak ada. Bagi ilmuan, kalimat pertama di atas adalah sebuah hipotesis. Sebuah dugaan semata dan bisa dihapus oleh kalimat terakhir. Bagi orang religius, kalimat pertama adalah fakta. Kalimat terakhir tidak dapat diterima karena kontradiktif dengan kalimat pertama. Ini perbedaan antara agama dan Sains.
Sekarang sains sedang berusaha menyapu bersih semua debu di atmosfer. Sains memiliki sebuah tujuan, memahami dunia kita. Di bidang fisika, sebagai ilmu yang mempelajari realitas, maka ini berarti menemukan sebuah teori gabungan. Sebuah teori puncak. Sebuah sapu bersih terhadap debu di atmosfer analogis kita. Bila sains menemukan teori puncak ini apakah agama akan menerima seandainya sains membuktikan tuhan tidak ada? Ataukah agama akan terus hidup dalam penafsiran celah-celah kecil sekecil virus dalam teori segalanya?
Agama selama ini berusaha mendapatkan dukungan sains. Tentang terbelahnya laut merah, lapisan bumi, lapisan atmosfer, embriologi manusia, terbelahnya bulan, dsb. Walaupun telah dibantah oleh sains kalau itu salah. Tetap saja tafsiran-tafsiran baru bermunculan. Di sisi lain, sains masih banyak punya misteri untuk dipecahkan. Dan disinilah agama menyusup. Bisakah sains meramalkan kematian? Bisakah sains menjelaskan tentang ini, tentang itu. Celah ini jelas semakin lama semakin sempit.
Dua milenium lalu sains tidak mampu menjelaskan kenapa seseorang bisa sakit, sekarang berbagai jenis anti virus serta segala jenis antibiotik mencegah kita terkena infeksi kuman. Dua milenium lalu, agama menawarkan penjelasannya. Orang sakit karena kutukan, karena dosa, karena durhaka, karena cobaan tuhan, dsb. Bahkan sekarang masih ada orang yang mengatakan kalau gempa disebabkan dosa.
Demikianlah, agama seperti orang yang tidak punya harapan lagi, dan mengambil remah-remah dari sains yang semakin gemuk. Mereka mengambil sedikit ruangan kosong di halaman istana sains yang megah. Saat sang tuan rumah keluar, penghuni halaman istana ini menunjuk mengatakan kalau, hei lihat bajunya itu buatan kakek dari kakek ku dari kakekku, atau hei, gorden istananya itu buatan sepupu jauh saya.
Buku terbaru Stephen Hawking yang memicu kontroversi
Sains telah mengalahkan sebagian besar pertanyaan yang dulunya coba dijawab oleh agama lewat dongeng dan fiksi. Masih ada pertanyaan seperti darimana datangnya hukum fisika, apakah kita hidup di satu alam semesta yang merupakan bagian dari sebuah multi jagad, dsb.
Dengan perbedaan antara Tuhannya Hawking dan Tuhannya Agama, tampak kalau titik temu tidak akan pernah tercapai. Sebagai contoh, David Wilkinson, seorang ulama sekaligus astrofisikawan mengatakan adanya tiga ruang kosong yang bisa menjadi celah adanya Tuhan dalam pernyataan Hawking.
  1. Tujuan Alam Semesta. Sains bisa menemukan mekanismenya, tapi masih ada pertanyaan mengenai apa tujuannya.
  2. Dari mana datangnya hukum fisika. Sains mempelajari hukum namun tidak mempelajari darimana datangnya hukum itu.
  3. Kecerdasan di alam semesta. Albert Einstein pernah mengatakan bahwa yang paling tidak dapat dipahami dari alam semesta ini adalah karena ia dapat dipahami. Alam semesta begitu teratur, dan ini, menunjukkan ada kecerdasan yang mengaturnya.
Richard Dawkins, biologiwan besar, mengatakan bahwa ketiga celah yang dikatakan David Wilkinson tidak perlu ada. Berikut detail penjelasannya.

Tujuan Alam Semesta

Kenapa mesti Alam Semesta memiliki tujuan? Apa tujuan dari gunung? Apa tujuan dari tsunami? Apa tujuan dari wabah bubonik? Ini pertanyaan yang konyol. Begitu juga dengan alam semesta.  Banyak pertanyaan yang masuk akal. Seperti bagaimana cara kerja sel syaraf? Apa nilai keberlangsungan hidup darwinian dari ekor merak? Ada banyak sekali pertanyaan yang masuk akal, yang berusaha dijawab sains selama ini. “Apa tujuan dari X?” hanya masuk akal jika ada entitas bertujuan, seperti manusia, untuk memiliki tujuan tersebut. Tsunami tidak memiliki tujuan. Pertanyaan “Apa tujuan dari X?” tidak perlu dijawab secara ilmiah. Namun pertanyaan semacam ini memerlukan keberadaan agen. Anda tidak dapat menerapkan pertanyaan ini pada gunung atau badai, atau tsunami atau alam semesta. Bahkan seandainya benar alam semesta memiliki tujuan, lalu apa tujuannya? Apakah agama dapat menjawabnya? Akan ada banyak jawaban. Agama Islam menjawab tujuannya Islam, kristen menjawab tujuannya kristen dan yahudi menjawab tujuannya yahudi. Belum lagi agama lainnya.

Asal Hukum Fisika

Bahkan bila yang tersisa adalah pertanyaan ini, ia tidak akan dijawab oleh keberadaan Tuhan, yang justru memunculkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Hal ini memang seperti apa yang dilakukan ilmuan. Sebuah penelitian seringkali memunculkan lebih banyak pertanyaan dari jawaban. Saat anda mengetahui mengenai asal usul medan magnet, anda bertanya tentang bagaimana mekanismenya di tingkat atom? Bagaimana keselarasan bisa tercipta antara gerak atom dengan perwujudan makro? Walau begitu, sains menarik karena memiliki banyak perangkat di dalamnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul, berbeda dengan meletakkan Tuhan di tengah jalan.

Keteraturan Alam Semesta

Seperti apa alam semesta yang tidak di atur dengan cerdas? Kenapa alam semesta harus diatur dengan kecerdasan? Disini Dawkins membuat asumsi kalau Tuhan memerlukan penjelasan, sama alasannya dengan bagaimana anda  menganggap alam semesta memerlukan penjelasan. Tapi Hawking telah berusaha menjelaskan mengenai alam semesta, tinggal siapa yang akan menjelaskan mengenai Tuhan. Apakah para ilmuan ataukah agamawan. Tampaknya bila dilihat pada track recordnya, maka ilmuanlah yang paling berhak.

Apa Manfaatnya Tuhan?

Hawking berpendapat kalau sains akan menang terhadap agama karena sains memang berhasil menyelamatkan hidup kita dari dulu. Tapi iman juga demikian, setidaknya bagi orang miskin dan terbelakang. Hasil dari survey di situs ini : http://www.nytimes.com/2010/09/04/opinion/04blow.html?_r=3&ref=opinion Ia menunjukkan kalau Indonesia adalah salah satu negara paling banyak memiliki orang beriman, dan disisi lain, merupakan negara dengan jumlah penduduk miskin yang besar. Bisa jadi agama yang membuat mereka miskin, atau bisa jadi pula kemiskinan yang menjadikan mereka beragama.
Negara-negara religius adalah negara paling miskin di dunia
Bagi orang yang merasa kemiskinan yang menjadikan mereka beriman, mereka merasa mendapat sebuah lindungan. Saat sakit mereka berdoa dan merasa nyaman, sebuah gejala psikologis. Terlepas dari apakah Tuhan ada ataukah tidak. Di negara yang kaya, saat sakit seseorang tinggal berobat ke dokter dan sains akan menyembuhkannya dengan mudah. Ia tidak perlu berdoa karena merasa yakin sains pasti berhasil menyelamatkannya.
Itulah manfaat Tuhan selama ini. Ia menjadi pengisi celah psikologis, bukan lagi pengisi celah sains. Ia ber evolusi menuju sebuah posisi yang lebih sulit lagi dijamah sains, lewat kendala sumberdaya manusia, ekonomi maupun politik.
Tentang apakah sains membuktikan Tuhan tidak ada, itu kembali pada setiap diri orang beriman. Seperti apa bukti yang mereka inginkan agar sains dapat jelas dalam menunjukkan kalau Tuhan tidak ada. Ia sesuatu yang sepenuhnya subjektif.




Sahabat Voa Islam,
Ketika  zaman kejayaan Islam, ulama dan saintis bersatu dalam tubuh tiap manusia. Namun sekarang ulama seolah-olah tidak mengerti sains dan saintis tidak mengerti Islam.
Ini disebabkan oleh  konsep pendidikan Indonesia yang masih memisahkan agama dan sains. Pemisahan ilmu, yang dalam konteks ini adalah sains dengan agama inilah yang disebut SMN al-Attas sebagai sekularisasi. Peran sains menjadi hanya semata-mata untuk  keperluan praktis, misal untuk membuat robot, obat, makanan, pupuk, kendaraan, alat elektronik dan lain sebagainya. Padahal dahulu yang dicontohkan oleh ulama kita, mereka belajar sains untuk juga makin dekat kepada Allah. Sehingga jika sains berkembang, keimanan dapat makin mendalam. Sebenarnya tujuan penciptaan manusia di dalam Alquran ada dua,yaitu menjadi hamba Allahdan khalifah/pemimpin  di muka bumi.
Sayangnya, hanya tujuan sebagai khalifah di muka bumi, sains lebih dimanfaatkan. Seperti untuk memakmurkan bumi dan mengelola alam.Tapi sebagai hamba Allah nya dikesampingkan.
Bila sains disekularkan, maka bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Menurut Osman Bakar, Islam bukanlah agama yang mengatur ibadah saja, melainkan jalan hidup yang lengkap dan sempurna, bahkan sebuah peradaban yang integral dan menyeluruh serta melingkupi segala aspek kehidupan manusia.Oleh karena itu, tidak ada satu hal pun dalam kehidupan manusia yang tidak diatur oleh Islam, termasuk sains. Bahkan sebagian ulama menyamakan pentingnya memahami dan merenungkan alam dengan Al-Qur’an. Dapat dilihat dari penggunaan istilah yang sama untuk menyebut kandungan Al-Qur’an sebagai ayat qauliyyah, sementara alam sebagai ayat kauliyyah. Keduanya sama-sama ayat Allah. Jadi tidak dapat dipisahkan antara alam dan Al-Qur’an.
Wendi Zarman menegaskan bahwa tujuan belajar sains yang paling utama adalah semakin mengenal Allah. Masalahnya orang membatasi belajar sains dengan hanya melihat fenomena alam saja. Seperti  yang diumpamakan Imam Ghazali, seekor semut yang melihat pena menulis di atas kertas. Semut hanya memandang tulisan itu ada karena pena. Padahal jika semut memandang lebih jauh ke atas, ada manusia yang menggerakkan pena itu. Sains berhenti pada pena saja, tidak melihat ada Allah yang mengatur alam ini.
Ada hal yang menarik, ulama dahulu sering mengatakan hikmah dari fenomena alam. Ketika hujan kita sebenarnya dapat mengambil hikmah. Tetesan air hujan yang bentuknya unik seperti balon, kecepatannya seperti  terhambat. Bayangkan jika batu dijatuhkan dari ketinggian sekian kilometer, akibatnya dapat membunuh orang. Namun Mahasuci Allah, Allah menciptakan bentuk tetesan air hujan yang unik sehingga tidak membahayakan orang. Kita juga dapat mengambil hikmah dari sifat konduktor logam. Bayangkan seandainya udara memiliki sifat konduktor, lingkungan kita akan berbahaya. Artinya alam ini memang diatur. Sudah sepantasnya menimbulkan pengakuan kita atas kebesaran Allah.
Bila dihubungkan dengan pendidikan, masalah sains yang paling mengkhawatirkan adalah sekularisasi, yaitu ketika agama dicabut dari sains. Ini kesalahan yang besar karena dapat menjadikan seseorang yang “setengah-setengah” dan berwajah dua. Satu sisi, seseorang jadi yakin ketika belajar sains tentang hukum kekekalan energi ketika belajar sains yang mengatakan energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, tetapi hanya dapat berubah dari bentuk energi satu ke bentuk energi lain. Padahal hukum itu memiliki dua pengertian yang bertentangan dengan Islam. Pertama, energi bukan zat ciptaan, artinya energi itu ada sendirinya dan menyangkal adanya Allah, Maha Pencipta. Kedua, energi tidak dapat dimusnahkan, artinya energi akan selalu kekal. Sisi lain ia yakin juga ketika belajar agama tentang langit dan bumi beserta seluruh isinya yang merupakan ciptaan Allah.Selain itu, seluruh alam bersifat fana dan akan musnah sesuai kehendak penciptanya. Ini berarti energi adalah salah satu ciptaan Allah yang suatu saat akan musnah juga.
Indonesia sebagai negara yang didirikan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa sepatutnya menjadikan nilai-nilai agama sebagai dasar dalam seluruh bidang kehidupan rakyat Indonesia, termasuk bidang pendidikan sains. Sila pertama pancasila yang bunyinya Ketuhanan Yang Maha Esa semakin menguatkan hal ini karena mencerminkan konsep manusia ideal menurut bangsa Indonesia yaitu manusia yang berketuhanan Yang Maha Esa atau dapat disebut juga manusia yang beriman. Kemudian salah satu tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sofyan Sauri menyebutkan bahwa tujuan ini menunjukkan bahwa nilai inti pembangunan karakter bangsa berorientasi mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini menunjukkan bahwa nilai keimanan menjadi tujuan utama pendidikan di Indonesia sehingga pendikan sains harus dilandasi oleh tujuan ini.
Program pemerintah seperti kurikulum 2013 yang mengedepankan pendidikan karakter memberikan alasan yang lebih kuat perlunya pendidikan sains berbasis nilai keimanan. Dalam kurikulum 2013, kompetensi inti dan kompetensi dasar IPA SMP/MTS yang pertama kali disebutkan mengenai penanaman dan penerapan nilai keimanan.
Menurut Sayid Sabiq, keimanan bukan sekadar ucapan dalam hati atau keyakinan yang memenuhi hati, tapi terwujud dalam tingkah lakunya.
Demikian juga Buya Hamka mengatakan bahwa tidaklah disebut beriman jika tidak diikuti amal shalih, begitu juga tidak disebut beramal shalih jika tidak timbul dari iman. Artinya akhlak mulia hanya dapat diwujudkan oleh seseorang yang memiliki keimanan.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/science/2014/08/21/29184/sains-islam-ketika-kini-ilmu-agama-dipisahkan/#sthash.ZiM18Dpz.dpuf
Sahabat Voa Islam,
Ketika  zaman kejayaan Islam, ulama dan saintis bersatu dalam tubuh tiap manusia. Namun sekarang ulama seolah-olah tidak mengerti sains dan saintis tidak mengerti Islam.
Ini disebabkan oleh  konsep pendidikan Indonesia yang masih memisahkan agama dan sains. Pemisahan ilmu, yang dalam konteks ini adalah sains dengan agama inilah yang disebut SMN al-Attas sebagai sekularisasi. Peran sains menjadi hanya semata-mata untuk  keperluan praktis, misal untuk membuat robot, obat, makanan, pupuk, kendaraan, alat elektronik dan lain sebagainya. Padahal dahulu yang dicontohkan oleh ulama kita, mereka belajar sains untuk juga makin dekat kepada Allah. Sehingga jika sains berkembang, keimanan dapat makin mendalam. Sebenarnya tujuan penciptaan manusia di dalam Alquran ada dua,yaitu menjadi hamba Allahdan khalifah/pemimpin  di muka bumi.
Sayangnya, hanya tujuan sebagai khalifah di muka bumi, sains lebih dimanfaatkan. Seperti untuk memakmurkan bumi dan mengelola alam.Tapi sebagai hamba Allah nya dikesampingkan.
Bila sains disekularkan, maka bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Menurut Osman Bakar, Islam bukanlah agama yang mengatur ibadah saja, melainkan jalan hidup yang lengkap dan sempurna, bahkan sebuah peradaban yang integral dan menyeluruh serta melingkupi segala aspek kehidupan manusia.Oleh karena itu, tidak ada satu hal pun dalam kehidupan manusia yang tidak diatur oleh Islam, termasuk sains. Bahkan sebagian ulama menyamakan pentingnya memahami dan merenungkan alam dengan Al-Qur’an. Dapat dilihat dari penggunaan istilah yang sama untuk menyebut kandungan Al-Qur’an sebagai ayat qauliyyah, sementara alam sebagai ayat kauliyyah. Keduanya sama-sama ayat Allah. Jadi tidak dapat dipisahkan antara alam dan Al-Qur’an.
Wendi Zarman menegaskan bahwa tujuan belajar sains yang paling utama adalah semakin mengenal Allah. Masalahnya orang membatasi belajar sains dengan hanya melihat fenomena alam saja. Seperti  yang diumpamakan Imam Ghazali, seekor semut yang melihat pena menulis di atas kertas. Semut hanya memandang tulisan itu ada karena pena. Padahal jika semut memandang lebih jauh ke atas, ada manusia yang menggerakkan pena itu. Sains berhenti pada pena saja, tidak melihat ada Allah yang mengatur alam ini.
Ada hal yang menarik, ulama dahulu sering mengatakan hikmah dari fenomena alam. Ketika hujan kita sebenarnya dapat mengambil hikmah. Tetesan air hujan yang bentuknya unik seperti balon, kecepatannya seperti  terhambat. Bayangkan jika batu dijatuhkan dari ketinggian sekian kilometer, akibatnya dapat membunuh orang. Namun Mahasuci Allah, Allah menciptakan bentuk tetesan air hujan yang unik sehingga tidak membahayakan orang. Kita juga dapat mengambil hikmah dari sifat konduktor logam. Bayangkan seandainya udara memiliki sifat konduktor, lingkungan kita akan berbahaya. Artinya alam ini memang diatur. Sudah sepantasnya menimbulkan pengakuan kita atas kebesaran Allah.
Bila dihubungkan dengan pendidikan, masalah sains yang paling mengkhawatirkan adalah sekularisasi, yaitu ketika agama dicabut dari sains. Ini kesalahan yang besar karena dapat menjadikan seseorang yang “setengah-setengah” dan berwajah dua. Satu sisi, seseorang jadi yakin ketika belajar sains tentang hukum kekekalan energi ketika belajar sains yang mengatakan energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, tetapi hanya dapat berubah dari bentuk energi satu ke bentuk energi lain. Padahal hukum itu memiliki dua pengertian yang bertentangan dengan Islam. Pertama, energi bukan zat ciptaan, artinya energi itu ada sendirinya dan menyangkal adanya Allah, Maha Pencipta. Kedua, energi tidak dapat dimusnahkan, artinya energi akan selalu kekal. Sisi lain ia yakin juga ketika belajar agama tentang langit dan bumi beserta seluruh isinya yang merupakan ciptaan Allah.Selain itu, seluruh alam bersifat fana dan akan musnah sesuai kehendak penciptanya. Ini berarti energi adalah salah satu ciptaan Allah yang suatu saat akan musnah juga.
Indonesia sebagai negara yang didirikan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa sepatutnya menjadikan nilai-nilai agama sebagai dasar dalam seluruh bidang kehidupan rakyat Indonesia, termasuk bidang pendidikan sains. Sila pertama pancasila yang bunyinya Ketuhanan Yang Maha Esa semakin menguatkan hal ini karena mencerminkan konsep manusia ideal menurut bangsa Indonesia yaitu manusia yang berketuhanan Yang Maha Esa atau dapat disebut juga manusia yang beriman. Kemudian salah satu tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sofyan Sauri menyebutkan bahwa tujuan ini menunjukkan bahwa nilai inti pembangunan karakter bangsa berorientasi mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini menunjukkan bahwa nilai keimanan menjadi tujuan utama pendidikan di Indonesia sehingga pendikan sains harus dilandasi oleh tujuan ini.
Program pemerintah seperti kurikulum 2013 yang mengedepankan pendidikan karakter memberikan alasan yang lebih kuat perlunya pendidikan sains berbasis nilai keimanan. Dalam kurikulum 2013, kompetensi inti dan kompetensi dasar IPA SMP/MTS yang pertama kali disebutkan mengenai penanaman dan penerapan nilai keimanan.
Menurut Sayid Sabiq, keimanan bukan sekadar ucapan dalam hati atau keyakinan yang memenuhi hati, tapi terwujud dalam tingkah lakunya.
Demikian juga Buya Hamka mengatakan bahwa tidaklah disebut beriman jika tidak diikuti amal shalih, begitu juga tidak disebut beramal shalih jika tidak timbul dari iman. Artinya akhlak mulia hanya dapat diwujudkan oleh seseorang yang memiliki keimanan.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/science/2014/08/21/29184/sains-islam-ketika-kini-ilmu-agama-dipisahkan/#sthash.ZiM18Dpz.dpuf
Sahabat Voa Islam,
Ketika  zaman kejayaan Islam, ulama dan saintis bersatu dalam tubuh tiap manusia. Namun sekarang ulama seolah-olah tidak mengerti sains dan saintis tidak mengerti Islam.
Ini disebabkan oleh  konsep pendidikan Indonesia yang masih memisahkan agama dan sains. Pemisahan ilmu, yang dalam konteks ini adalah sains dengan agama inilah yang disebut SMN al-Attas sebagai sekularisasi. Peran sains menjadi hanya semata-mata untuk  keperluan praktis, misal untuk membuat robot, obat, makanan, pupuk, kendaraan, alat elektronik dan lain sebagainya. Padahal dahulu yang dicontohkan oleh ulama kita, mereka belajar sains untuk juga makin dekat kepada Allah. Sehingga jika sains berkembang, keimanan dapat makin mendalam. Sebenarnya tujuan penciptaan manusia di dalam Alquran ada dua,yaitu menjadi hamba Allahdan khalifah/pemimpin  di muka bumi.
Sayangnya, hanya tujuan sebagai khalifah di muka bumi, sains lebih dimanfaatkan. Seperti untuk memakmurkan bumi dan mengelola alam.Tapi sebagai hamba Allah nya dikesampingkan.
Bila sains disekularkan, maka bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Menurut Osman Bakar, Islam bukanlah agama yang mengatur ibadah saja, melainkan jalan hidup yang lengkap dan sempurna, bahkan sebuah peradaban yang integral dan menyeluruh serta melingkupi segala aspek kehidupan manusia.Oleh karena itu, tidak ada satu hal pun dalam kehidupan manusia yang tidak diatur oleh Islam, termasuk sains. Bahkan sebagian ulama menyamakan pentingnya memahami dan merenungkan alam dengan Al-Qur’an. Dapat dilihat dari penggunaan istilah yang sama untuk menyebut kandungan Al-Qur’an sebagai ayat qauliyyah, sementara alam sebagai ayat kauliyyah. Keduanya sama-sama ayat Allah. Jadi tidak dapat dipisahkan antara alam dan Al-Qur’an.
Wendi Zarman menegaskan bahwa tujuan belajar sains yang paling utama adalah semakin mengenal Allah. Masalahnya orang membatasi belajar sains dengan hanya melihat fenomena alam saja. Seperti  yang diumpamakan Imam Ghazali, seekor semut yang melihat pena menulis di atas kertas. Semut hanya memandang tulisan itu ada karena pena. Padahal jika semut memandang lebih jauh ke atas, ada manusia yang menggerakkan pena itu. Sains berhenti pada pena saja, tidak melihat ada Allah yang mengatur alam ini.
Ada hal yang menarik, ulama dahulu sering mengatakan hikmah dari fenomena alam. Ketika hujan kita sebenarnya dapat mengambil hikmah. Tetesan air hujan yang bentuknya unik seperti balon, kecepatannya seperti  terhambat. Bayangkan jika batu dijatuhkan dari ketinggian sekian kilometer, akibatnya dapat membunuh orang. Namun Mahasuci Allah, Allah menciptakan bentuk tetesan air hujan yang unik sehingga tidak membahayakan orang. Kita juga dapat mengambil hikmah dari sifat konduktor logam. Bayangkan seandainya udara memiliki sifat konduktor, lingkungan kita akan berbahaya. Artinya alam ini memang diatur. Sudah sepantasnya menimbulkan pengakuan kita atas kebesaran Allah.
Bila dihubungkan dengan pendidikan, masalah sains yang paling mengkhawatirkan adalah sekularisasi, yaitu ketika agama dicabut dari sains. Ini kesalahan yang besar karena dapat menjadikan seseorang yang “setengah-setengah” dan berwajah dua. Satu sisi, seseorang jadi yakin ketika belajar sains tentang hukum kekekalan energi ketika belajar sains yang mengatakan energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, tetapi hanya dapat berubah dari bentuk energi satu ke bentuk energi lain. Padahal hukum itu memiliki dua pengertian yang bertentangan dengan Islam. Pertama, energi bukan zat ciptaan, artinya energi itu ada sendirinya dan menyangkal adanya Allah, Maha Pencipta. Kedua, energi tidak dapat dimusnahkan, artinya energi akan selalu kekal. Sisi lain ia yakin juga ketika belajar agama tentang langit dan bumi beserta seluruh isinya yang merupakan ciptaan Allah.Selain itu, seluruh alam bersifat fana dan akan musnah sesuai kehendak penciptanya. Ini berarti energi adalah salah satu ciptaan Allah yang suatu saat akan musnah juga.
Indonesia sebagai negara yang didirikan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa sepatutnya menjadikan nilai-nilai agama sebagai dasar dalam seluruh bidang kehidupan rakyat Indonesia, termasuk bidang pendidikan sains. Sila pertama pancasila yang bunyinya Ketuhanan Yang Maha Esa semakin menguatkan hal ini karena mencerminkan konsep manusia ideal menurut bangsa Indonesia yaitu manusia yang berketuhanan Yang Maha Esa atau dapat disebut juga manusia yang beriman. Kemudian salah satu tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sofyan Sauri menyebutkan bahwa tujuan ini menunjukkan bahwa nilai inti pembangunan karakter bangsa berorientasi mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini menunjukkan bahwa nilai keimanan menjadi tujuan utama pendidikan di Indonesia sehingga pendikan sains harus dilandasi oleh tujuan ini.
Program pemerintah seperti kurikulum 2013 yang mengedepankan pendidikan karakter memberikan alasan yang lebih kuat perlunya pendidikan sains berbasis nilai keimanan. Dalam kurikulum 2013, kompetensi inti dan kompetensi dasar IPA SMP/MTS yang pertama kali disebutkan mengenai penanaman dan penerapan nilai keimanan.
Menurut Sayid Sabiq, keimanan bukan sekadar ucapan dalam hati atau keyakinan yang memenuhi hati, tapi terwujud dalam tingkah lakunya.
Demikian juga Buya Hamka mengatakan bahwa tidaklah disebut beriman jika tidak diikuti amal shalih, begitu juga tidak disebut beramal shalih jika tidak timbul dari iman. Artinya akhlak mulia hanya dapat diwujudkan oleh seseorang yang memiliki keimanan.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/science/2014/08/21/29184/sains-islam-ketika-kini-ilmu-agama-dipisahkan/#sthash.ZiM18Dpz.dpuf
Share on Google Plus

About Bhaswara Ananta

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar