Melalui studi variasi genetik manusia, simpanse, gorila dan orangutan, para peneliti berhasil membangun sebuah model yang menggambarkan sejarah kera besar sepanjang 15 juta tahun terakhir. Katalog keragaman genetik kera besar yang paling komprehensif yang pernah ada ini memaparkan sejarah evolusi dan populasi kera besar asal Afrika dan Indonesia. Sumber daya ini sekaligus dapat membantu upaya konservasi di masa kini dan masa depan untuk melestarikan keragaman genetik dalam berbagai populasi di alam.
Sekitar 75 orang ilmuwan dan konservasionis satwa liar dari seluruh dunia turut andil dalam menghasilkan analisis genetik dari 79 ekor kera besar di alam liar maupun yang sudah di penangkaran sejak lahir. Kera-kera ini mewakili keseluruhan enam spesies kera besar: simpanse, bonobo, orangutan sumatera, orangutan Borneo, gorila timur dan gorila dataran rendah barat, serta tujuh subspesies lainnya. Sembilan genom manusia disertakan pula sebagai sampel.
“Penelitian ini menyediakan survei yang paling dalam terhadap penanggalan keragaman genetik kera besar, sekaligus memberi wawasan evolusiner tentang divergensi dan kemunculan spesies-spesies kera besar,” ujar Evan Eichler, profesor ilmu genom di University of Washington dan peneliti di Howard Hughes Medical Institute.
Variasi genetik di antara kera-kera besar selama ini belum pernah dipetakan secara luas mengingat sulitnya memperoleh spesimen genetik dari kera-kera liar. Upaya tim riset dalam proyek pemetaan ini berhasil terwujud berkat bantuan berupa pengumpulan data dari para konservasionis di berbagai negara.
“Pengumpulan data ini sangat penting untuk memahami perbedaan di antara spesies-spesies kera besar, serta dalam memisahkan aspek-aspek kode genetik yang membedakan manusia dengan jenis primata lainnya,” ungkap Peter H. Sudmant, seorang lulusan University of Washington dalam bidang ilmu genom. Analisis keragaman genetik kera besar dapat berguna untuk menyingkap pada bagaimana seleksi alam, pertumbuhan dan penurunan populasi, isolasi geografis dan migrasi, perubahan iklim dan geologis, serta faktor-faktor lainnya, bekerja dalam membentuk evolusi primata.
Menurut Sudmant, dengan lebih banyak mempelajari keragaman genetik kera besar, maka berkontribusi pula menghasilkan pengetahuan tentang kerentanan penyakit di antara spesies-spesies primata. Pengetahuan ini sangat berguna bagi upaya konservasi maupun bagi kesehatan manusia.
“Karena dari cara kita berpikir, berkomunikasi dan bertindak merupakan ciri khas yang menjadikan kita manusia, maka secara khusus kami mencari perbedaan-perbedaan genetik di antara manusia dan kera-kera besar lain yang mungkin memberikan sifat-sifat tersebut,” tambah Sudmant. Perbedaan-perbedaan spesies ini memungkinkan para peneliti menemukan bagian-bagian genom manusia yang berhubungan dengan kognisi, ucapan atau perilaku, serta merta menunjukkan jenis-jenis mutasi yang mungkin mendasari penyakit-penyakit neurologis.
Pada satu dari dua studi dalam proyek ini, Sudmant dan Eichler tanpa sengaja menemukan bukti genetik pertama pada simpanse yang terkait dengan gangguan yang menyerupai sindrom Smith-Magenis, suatu kondisi kelumpuhan fisik, mental dan perilaku pada manusia. Secara mencolok, gejala yang terlihat pada simpanse bernama Suzie-A ini, nyaris persis sama dengan gejala Smith-Magenis pada manusia, antara lain kelebihan berat badan, mudah marah, tulang membengkok dan kematian akibat gagal ginjal.
Temuan ini diperoleh saat para peneliti tengah mengeksplorasi dan membandingkan akumulasi varian jumlah salinan di sepanjang evolusi kera besar. Varian jumlah salinan memiliki perbedaan di antara individu, populasi ataupun spesies pada sejumlah kemunculan segmen-segmen DNA tertentu secara berulang-ulang. Duplikasi dan penghapusan segmen-segmen DNA ini menstruktur-ulang genom manusia dan kera besar, serta menjadi penyebab di balik terjadinya berbagai penyakit genetik.
Selain memberi gambaran pada asal-usul manusia dan berbagai penyakitnya, sumber daya keragaman genetik kera ini pun akan berguna untuk membantu menyelamatkan spesies-spesies kera besar dari ambang kepunahan. Sumber daya ini menyediakan sarana penting bagi para ahli biologi untuk mengidentifikasi asal usul kera-kera besar yang selama ini menjadi target para pemburu di alam liar. Penelitian ini juga menjelaskan mengapa program-program pengembangbiakan di kebun binatang saat ini, yang bertujuan mengupayakan peningkatan keragaman genetik pada populasi kera besar dalam penangkaran, menyebabkan terjadinya perbedaan genetik di antara populasi kera penangkaran dan polulasi kera yang ada di alam liar.
“Dengan menghindari perkawinan sedarah agar menghasilkan populasi yang beragam, kebun binatang, serta kelompok-kelompok konservasi, mungkin telah sepenuhnya mengikis sinyal-sinyal genetik tertentu pada populasi tertentu dalam lokasi geografis tertentu di alam liar,” jelas Sudmant. Salah satu kera penangkaran yang diteliti dalam studi ini, bernama Donald, memiliki susunan genetik dari dua subspesies simpanse yang berbeda, yang satu sama lain berlokasi terpisah sejauh lebih dari 2000 km.
Penelitian ini juga mengurai banyaknya perubahan yang terjadi di sepanjang garis silsilah kera seiring terjadinya pemisahan di antara mereka melalui peristiwa-peristiwa migrasi, perubahan geologis dan perubahan iklim. Pembentukan sungai, terpisahnya pulau-pulau dari daratan utama dan gangguan-gangguan alam lainnya berperan mengisolasi kelompok-kelompok kera. Populasi yang terisolasi kemudian harus menghadapi tekanan lingkungan yang unik, menyebabkan terjadinya fluktuasi populasi dan adaptasi yang bergantung pada keadaan. Meski spesies mirip-manusia awal hidup di masa yang bersamaan dengan nenek moyang beberapa kera besar saat ini, namun ditemukan bahwa sejarah evolusiner populasi nenek moyang kera besar ternyata jauh lebih kompleks daripada manusia.
Dibandingkan dengan kerabat terdekat kita, simpanse, sejarah manusia muncul secara “hampir membosankan”, simpul Sudmant dan mentornya, Evan Eicher. Sejarah evolusioner simpanse selama jutaan tahun terakhir dipenuhi dengan ledakan populasi, diikuti dengan ledakan-ledakan ke dalam yang menunjukkan plastisitas yang luar biasa. Meski demikian, hingga kini masih belum diketahui apa yang menjadi alasan fluktuasi ukuran populasi simpanse terjadi jauh sebelum ledakan populasi manusia.
Sudmant mengatakan bahwa minatnya dalam mempelajari kera besar, dan keinginannya untuk melestarikan spesies kera besar, berakar dari kesamaan kera-kera besar dengan manusia, beserta rasa keingintahuan tentang kita. “Jika Anda menatap ke arah simpanse atau gorila, mereka akan balik menatap Anda,” katanya, “Mereka bertindak seperti kita. Kita perlu mencari cara untuk melindungi spesies-spesies yang berharga ini dari kepunahan.”
Riset untuk analisis genetik ini dideskripsikan dalam dua makalah: “Great ape genetic diversity and population history,” dipubilkasikan dalam jurnal Nature, dan “Evolution and diversity of copy number variation in the great ape lineage,” dipubliksikan dalam Genome Research, terwujud berkat dukungan dari NIH dan Howard Hughes Medical Institute.
0 komentar:
Posting Komentar